Siang itu tim reporter kami, Journalist Club of Smantig kebetulan tengah mengadakan pertemuan kecil-kecilan di Lapangan Merdeka.
Tentunya dengan tetap mengedepankan protokol kesehatan pastinya, apalagi disaat situasi New Normal ditengah pandemi wabah virus corona.
Di hari yang panas dan terik itupun, aku melihat tidak sedikit juga warga dan masyarakat sekitaran kota Medan yang tengah melakukan olahraga dan aktivitas kebugaran dengan semangat.
Dalam benakku saat itu ketika melihat mereka," Wahh, apakah tidak terlalu berlebihan berolahraga dan lari-lari keliling lapangan hingga siang hari seperti ini?"
Jumlah warga yang sering mengunjungi dan berolahraga di Lapangan Merdeka sebagaimana yang kita ketahui sebagai warga kota Medan adalah selalu ramai dan tidak pernah sepi setiap harinya.
Namun, belakangan ini jumlah dan juga lama durasi mereka juga makin meningkat apalagi setelah diterapkan New Normal yang mana pembatasan terhadap fasilitas umum semakin diperlonggar dengan catatan tetap harus memperhatikan protokol Covid-19.
Sampai-sampai di beberapa kota besar, sempat ada yang namanya trend bersepeda/gowes di kalangan millenial dan generasi boomer. Dan menjadi perbincangan yang cukup panas di media sosial, mengenai sejumlah pro-kontra antar netizen.
Kenapa sampai bisa ada peningkatan di masa-masa yang seperti wabah ini, kenapa sebelum-sebelumnya warga tidak terpikirkan untuk berolahraga dan bersepeda?
Pembahasan dari Sudut Pandang Psikologi
Hal paling mendasar yang berubah ditengah masyarakat kita saat masa-masa pandemi yang berskala global ini adalah kebiasaan/behaviour.
Menurut kamus Merriam-Webster, definisi kebiasaan adalah pola perilaku yang diperoleh karena seringnya terjadi pengulangan atau keadaan lingkungan (fisiologis) yang menunjukkan dirinya dalam keteraturan atau peningkatan kualitas kinerja.
Jadi dapat kita simpulkan, perubahan kebiasaan yang dialami oleh warga kota Medan dan warga di kota-kota lain pada umunya bersumber dari lingkungan dan slogan-slogan yang digalakkan pemerintah dimana-mana mengenai kesehatan ditambah lagi sekarang terjadi wabah.
Setiap pagi di televisi saat kita menonton acara apapun, pasti pengisi acara dan host-nya akan selalu mengingatkan kita agar tetap menjaga kesehatan dan kebugaran serta mematuhi protokol Covid-19.
Ditambah lagi setiap hari di berita, akan selalu ada saja pengumuman dan kabar terbaru yang berhubungan dan tak jauh-jauh dari pembahasan seputar wabah virus corona.
Kalau pun bukan info terbaru soal angka korban kematian wabah pasti beritanya mengenai perjuangan para tenaga medis dalam menangani wabah.
Hal-hal seperti ini jika terus menerus dipaparkan dan diberikan kepada masyarakat, akan menimbulkan sesuatu yang dalam psikis seperti rasa takut, was-was, risih dan selalu waspada namun tetap dalam arti yang positif tentunya.
Perasaan yang bercampur aduk antara sudah terbiasa dihimbau untuk berolahraga dan menjaga kesehatan serta ketakutan akan terkena wabah dan kemungkinan menjadi korban jiwa menimbulkan rasa kesadaran tersendiri di kalangan masyarakat kita yang mau merubah kebiasaanya sebelum wabah, menjadi kebiasaan baru yang muncul setelah boomingnya masa-masa wabah.
Berarti dapat kita simpulkan garis besarnya perubahan behaviour yang ada di masyarakat kita terbagi kedalam 2 poin utama, yakni adalah ketakutan dan kebiasaan.
Pembahasan Melalui Kaca Mata Sosiologi
Lalu, bagaimana pula ilmu sosial membahasnya? Sosiologi adalah ilmu yang mempelajari interaksi antar sesama manusia.
Kajian-kajian yang dipelajari dalam sosiologi berkutat seputar bagaimana manusia sebagai makhluk sosial melakukan hubungan dengan sesamanya, baik itu hubungan yang negatif, positif, kedua-duanya atau bahkan yang tidak termasuk kedua-duanya.
Nahh, dalam hal ini masyarakat kita mengalami perubahan sosial dan perilaku selama masa pandemi ini juga dapat dibahas oleh mata pembelajaran Sosiologi.
Sekarang saya beri contoh kecilnya aja deh, misalnya saat SD teman kamu membeli suatu mainan berupa mobil-mobilan yang sebenarnya kamu tahu itu ngak guna, lebih bagus membeli jajanan, tapi toh masih aja kamu beli juga.
Atau bisa juga saat sekumpulan ibu-ibu di arisan yang sedang ngerumpi, lalu seseorang membicarakan pakaian dan perhiasan barunya, maka bisa dipastikan tak lama lagi beberapa dari mereka juga akan ikut melakukan hal yang sama, beli baju dan emas baru agar tidak mau kalah.
Perilaku ini dinamakan Imitasi dalam interaksi sosial, yang artinya tiruan atau meniru. Bahasa sederhananya adalah ikut-ikutan, gengsi, ngak mau kalah, dan kata-kata lainnya yang sepadanlah.
Begitupun saat ada orang yang membeli sepeda baru di suatu komplek perumahan dan tetangga sebelah di kemudian hari juga akan mengikutinya membeli sepeda.
Apalagi jika yang membeli dan mencontohkannya itu adalah seorang influencer, orang-orang yang memiliki kekuatan dan kekuasaan besar yang dapat mempengaruhi orang lain disekitarnya.
Bakalan lebih banyak yang terpengaruh dan ikut-ikutan, influencer itu bisa artis, gubernur, presiden, youtuber, ustadz/kyai atau apapunlah pokoknya orang terkenal (famous).
Padahal awalnya cuman satu dua orang mungkin yang sadar dan mempelopori aktivitas berolahraga dan gemar menjaga kesehatan, namun lambat laun satu per satu orang lain mulai mengikutinya, komunitasnya semakin besar dan akhirnya booming dan trending.
Semua hal yang sempat booming dan trending di masyarakat kita mulanya berawal dari orang yang pertama-tama dan konsisten dalam menjalankan kegiatannya dan tanpa sadar atau memang ia sengaja ikut dia sebarkan melalui segala gerak gerik tindak tanduknya.
Kita bisa melihat berbagai macam peristiwa yang pernah trending di publik tanah air, mulai dari batu giok, ikan cupang, tokek, tanaman bonsai, macam-macamlah!
Lalu, Apakah Kebiasaan Seperti ini Akan Terus Bertahan?
Namun pada akhirnya itu semua memiliki akhir dan masa-masa kemundurannya yang ditandai dengan mulai berkurangnya orang-orang yang mengikuti trendnya.
Karena jujur saja rata-rata orang yang meninggalkan suatu trending adalah orang yang ikut-ikutan dari orang lain dan tidak merasakan kesenangan dari apa yang ia kerjakan, jadi pada dasarnya dia hanya melakukan hal tersebut karena melihat orang lain melakukannya juga, dan pada dasarnya ia tidak tahu sebenarnya apa sih yang dirinya lakukan?
Makanya orang-orang seperti itu terkesan mudah bosan dan meninggalkan aktivitas tersebut, dan tersisalah hanya sedikit orang-orang yang konsisten di jalan dan hobi mereka, alias pemain lama.
Apakah itu juga termasuk dari kebiasaan bersepeda dan berolahraga demi menjaga kebugaran ini? Tentu adalah suatu hal yang tidak bisa kita elakkan, jika suatu saat nantinya juga berolahraga yang marak belakangan ini akan habis masa trendingnya, dan orang-orang yang hanya ikut-ikutan tersebut mulai nampak gelagat gelisahnya ingin segara memberhentikan aktivitasnya.
Atau bisa juga sebaliknya! Tidak ada yang tahu pasti dengan dunia ini, segala sesuatu kemungkinan akan selalu terjadi.
Jika kesadaran akan pentingnya memiliki tubuh yang bugar dengan berolahraga sudah tertanam kuat di setiap individu masyarakat, terlebih lagi karena wabah ini yang semakin mengingatkan kita akan pentingnya berolahraga, menjaga kesehatan, dan makan teratur.
Bukan tidak mungkin jika setelah pandemi berakhir masih akan banyak orang-orang yang antusias untuk menjaga kebugaran tubuhnya.
Kita lihat saja nanti bagaimana semua ini akan berakhir. Pantau dan amati terus jalan ceritanya!
Post a Comment