Penulis : Anisah Mawardah Simatupang
Hilangnya sejumlah suku di Indonesia membuat resah warga Kabupaten Pakpak Bharat. Para warga memahami, banyak suku hilang akibat terdesak oleh suku lain yang mencari permukiman baru, hingga menghilangkan adat dan budaya setempat. Warga ini tak ingin sejarah, suku, tanah ulayat, adat dan budaya Pakpak pun hilang digerus pendatang.
Menurut warga setempat, suku Pakpak adalah suku yang penuh toleransi. Suku itu membuka tangan lebar-lebar untuk orang-orang baru untuk hidup berdampingan. Namun, identitas adat mereka menghilang secara perlahan. Berangkat dari kekhawatiran ini, para warga yang mendapat dukungan penuh dari Bupati Remigo Yolanda Berutu mengeluarkan Peraturan Daerah (Perda) Nomor 3 tahun 2016 tentang Pelestarian dan Pengembangan Budaya Pakpak pada 11 Juli 2016. Tujuannya, untuk menjaga, memayungi dan membentengi semua kearifan lokal, adat istiadat dan budaya suku Pakpak.
Sesuai dengan apa yang dikatakan ketua DPRD Kabupaten Pakpak Bharat, Sonni. "Ini janji pribadi saya terhadap suku Pakpak bahwa saya akan menerbitkan perda terkait budaya. Makanya begitu saya dilantik jadi ketua DPRD, sebulan kemudian saya inisiasi perda ini menjadi prolegda," ucap Sonni saat ditemui di ruang kerjanya. Menurut beliau begitu pentingnya perda ini disebabkan suku Pakpak dengan jumlah yang besar, tapi tidak mampu, ragu-ragu, atau malu menunjukkan jati dirinya.
Suku Pakpak yang dianggap melepas nama marganya dan tidak memakai bahasa ibunya. Sering ditemui, di satu keluarga suku Pakpak malah menggunakan bahasa suku lain. Para warga pakpak Bharat merasa sedih kalau bahasa nasional masih bisa kita terima. Karena ini yang mendasari dan bahaya ini apabila suku pakpak Bharat yang begitu besar terancam.
Perda ini dan perda-perda lain di seluruh Indonesia adalah tidak adanya sanksi hukum. Meski mewajibkan menggunakan adat dan budaya Pakpak di setiap kegiatan, tapi aparat hukum tidak bisa berbuat apa-apa ketika misalnya satu keluarga yang melakukan pesta pernikahan beda antar-etnis, memakai adat suku lain. Karena Semua regulasi seperti ini. Bicara sanksi hukum, sanksi pidana, ketika tidak dilaksanakan akan diberikan sanksi sesuai peraturan yang berlaku. Entah apa peraturannya kata warga.
Para tokoh masyarakat mengaku sedang mencari referensi yang bisa mendukung penguatan-penguatan itu. Mungkin nanti, bisa menggunakan sanksi sosial bagi pelanggar aturan. Kemudian melahirkan pedoman tata cara adat yang dipedomani semua marga suak Simsim. Bahkan saat ini DPRD sedang menggodok rancangan perda soal tanah ulayat, marga-marga Pakpak Simsin dan menginventarisi aset-aset milik suku. Seperti Pelleng, ini satu-satunya makanan khas Pakpak yang harus dipatenkan. Banyak lagi sebenarnya, doakanlah biar DPRD-nya produktif. Budaya dan adat ini bagian dari sejarah, siapa yang menghargainya akan besar.
Banyak yang berasumsi, mungkin kurangnya menghargai sejarah ini menjadi salah satu indikator suku Pakpak tidak bangkit dan muncul ke permukaan. Padahal, sudah banyak orang-orang suku Pakpak sukses di kancah provinsi dan nasional, tapi sayang, marganya dihilangkan ketika sukses. Kebanyakan marga pengganti adalah marga dari suku Batak Toba. Apakah untuk berbaur dengan suku lain, marga Anakampun, Bancin, Tumangger, Boangmanalu mesti beralih marga semua. Para warga pun meminta pemerintah memperhatikan suku Pakpak, membantu mengembangkan potensi daerah dengan infrastruktur.
Post a Comment