Dokumentasi Foto Kegiatan : Hak Cipta Dilindungi
Latihan rutin ekstrakurikuler Journalist Club of Smantig yang diadakan sekali tiap minggunya, untuk kedua kalinya dapat digelar secara tatap muka bertepatan pada hari Selasa, tanggal 17 Mei 2022. Adapun pelatih yang berkesempatan untuk mengisi materi latihan pada pertemuan kedua ini adalah pak Raudah Jambak atau yang akrab dipanggil dengan nama 'Papa Rau'.
Karena ini bisa dibilang merupakan pertemuan pertama para anggota JCS angkatan 17 dan 18 dengan pelatih Papa Rau secara langsung, maka kelas pada kali ini hanya dibuka dengan sesi perkenalan dan pembahasan ringan seputar hal yang umum (belum masuk pada materi pembelajaran).
Sebuah Utas Kritik
Adapun artikel tulisan kali ini akan melampirkan sebuah rubrik khusus yang difokuskan pada kritik, tanggapan serta reaksi penulis atas materi yang disampaikan Papa Rau di dalam kelas yang diwartakan pada teks berita sebelumnya.
Perlu dipahami bahwa Penulis akan menggunakan pendekatan Antropologi di dalam tulisannya kali ini. Kalaupun ada ilmu diluar disiplin sains sosial yang saya pakai itu tidak jauh-jauh dari Semiotik, Hermeneutika dan Dialektika. Saya tertarik untuk menyanggah perihal dua pembahasan yang sempat terbahas di dalam kelas Papa Rau. Yaitu seputar bahasa dan perspektif.
Memahami Terciptanya Bahasa
Kita perlu membangun definisi tentang bahasa terlebih dahulu, bahasa yang dimaksud dalam konteks pembahasan kali ini adalah bahasa lisan dan bahasa tulisan yang berbasis pada sistem aksara-tekstual. Rangkaian kode-kode bunyi atau simbol-simbol suara yang digunakan untuk menyampaikan pesan (berkomunikasi) itulah yang dinamakan bahasa.
Kalau ditanya kemudian, lantas bagaimana pula bahasa itu bisa terbentuk dalam suatu perkumpulan manusia, adalah karena adanya kesepakatan! Manusia mengembangkan kemampuan berbahasanya pertama kali menjadi sedemikian kompleks saat mereka berkoordinasi untuk berburu dan saling memerintah demi membangun peradabannya. Berarti harus ada seorang pemimpin atau penentu yang mesti menetapkan suatu istilah dan maknanya, atau bahasa itu tadi ya mengalir saja tercipta dengan sendirinya seiring interaksi sosial dan penerimaan dari masyarakat.
Bahasa kemudian menjadi sesuatu yang bersifat arbitrer atau semena-mena, yakni suka-suka kelompok dan sesuai kesepakatan orang-orang saja. Dalam arti lain, tidak ada satupun rumus dan aturan baku tentang harus dengan cara yang bagaimana bahasa itu mesti disajikan. Selama masyarakat suka dan sepakat, maka bahasa dengan secara alamiah pun terbentuk.
Kesalahpahaman berjamaah akan dianggap menjadi benar, karena tidak ada seorangpun yang mengetahui mana yang sesungguhnya benar atau salah. Untuk hal inipun itu tidak menjadi masalah karena bahasa itu sesungguhnya adalah realitas inter-subjektif, bukan objektif. Ini sebenarnya tidak harus kita pahami sebagai definisi yang formal, cukup disepakati oleh masyarakat atau dipahami masyarakat sebagai seperti itu... maka itu sudah masuk dikategorikan dalam kategori 'benar', walaupun benar yang saya maksud sebagai kesepakatan bersama atau kesalahpahaman bersama.
Ya kenapa harus seperti itu? Ya karena definisi itu tidak mengarahkan kita benar-benar pada kebenaran. Itu adalah dua hal yang sangat berbeda, benar secara definitif itu bukan berarti benar dalam artian sesungguhnya dan salah secara definitif itu bukan salah yang sesungguhnya.
Kata sebagai unsur terkecil dari linguistika, merupakan sesuatu yang paling banyak mendapatkan pengaruh dan potensi perubahan. Sehingga pergeseran makna dari sebuah kata sangat mungkin terjadi saat ada revolusi, perang, perubahan moral masyarakat, peristiwa sejarah, migrasi penduduk, dan permasalahan demografi lainnya.
Pergeseran makna dalam bahasa adalah sesuatu yang niscaya pasti akan terjadi jika dibahas dalam kajian ilmu semantik/filsafat bahasa, tetapi tentang apakah itu sesuatu yang baik atau buruk tidak akan dibahas disini. Kata seperti kebanyakan terma atau istilah lainnya pada awalnya bersifat bebas nilai (netral), lalu berubah antara menjadi baik atau buruk itu sampai ada nilai yang disematkan padanya.
Itulah mengapa terkadang antara satu kelompok dengan kelompok yang lainnya bisa berbeda pandangan dalam memaknai sebuah kalimat atau kata. Karena terdapat perbedaan pada nilai-nilai yang disepakati.
Bagi saya tidak menjadi masalah, dan bukan merupakan sesuatu yang mengerikan juga tatkala ada sebagian orang dalam masyarakat yang menggunakan bahasa secara salah atau berbeda dari standar anggapan kebenaran kebanyakan orang lainnya selama itu hanya dipergunakan bagi lingkaran kelompok mereka yang mengerti dan sepakat akan makna suatu kata/istilah, tetapi potensi untuk terjadinya kesalahpahaman menjadi tidak dapat terhindarkan disaat istilah khusus tersebut dibawa keluar dari tongkrongan (ke ranah publik misalnya).
Melihat dengan Ragam Perspektif
Sikap melihat dari beragam sudut pandang adalah salah satu cara terbaik dalam memahami sesuatu atau berusaha untuk menemukan solusi atas sebuah permasalahan, atau sekedar mengerti mengapa sesuatu menjadi demikian.
Apa emangnya yang dilihat? Dalam konteks ini tentunya adalah mindset/pola pikir manusianya dalam cara pandangnya akan dunia (worldview). Sikap ini biasanya sering diasosiasikan dengan kebijaksanaan karena berusaha mencari kebenaran bukan berdasarkan subjeknya tetapi berusaha menguji semua klaim kebenaran yang ada.
Keberatan saya dari materi yang disampaikan Papa Rau mengenai Ragam Perspektif dimulai saat kita harus menghargai pandangan orang lain yang berbeda akan suatu hal, kita bersikap membiarkan orang lain untuk terus mempertahankan pandangannya. Dan kitapun bersikeras untuk mempertahankan pandangan kita sendiri tanpa memiliki hasrat untuk mengujinya, serta bergerak menuju pandangan lain yang mungkin saja lebih benar dari yang kita miliki saat ini.
"Tolong hargai pendapat saya! Setiap orang punya kebenarannya masing-masing! Karena kita melihat dari sisi yang berbeda!" kira-kira beginilah yang dikatakan orang awam kebanyakan soal kebebasan beropini, padahal opini mereka tidak akan berkutik jika sudah berurusan dengan hukum alam.
Bagi saya ini adalah sikap yang kurang tepat! Alih-alih kita mentolerir pendapat orang lain, saya menawarkan pilihan alternatif lainnya yakni kita harus membuang semua keyakinan kita, dan bersama-sama dengan orang lain yang berseberangan tadi itu untuk mencari kebenaran yang sesungguhnya dari semua sudut pandang yang kita miliki.
Kenapa sih saya ini ngotot sekali untuk tidak menghargai saja pemikiran orang lain? Apa salahnya sih jika kita hargai saja pandangan yang berbeda. Jadi urgensinya/bentrokan kepentingannya itu disini kawan-kawan, okelah jika bersikap subjektif seperti masalah kepercayaan tentang tuhan, keindahan dan kejelekan, kesukaan dan hobi, dsb-nya yang subjektif.
Itulah menurut saya mengapa penting bagi kita untuk tidak menghargai pandangan yang jelas-jelas salah secara objektif karena masalah kedepannya dapat memunculkan kerugian/mudharat yang lebih besar lainnya entah itu kehilangan harta benda bahkan korban jiwa, karena kepercayaan-kepercayaan yang konyol dari suatu hal akan menuntun kita pada keputusan yang salah.
Misalnya, ada orang yang berpendapat bahwa bumi itu datar, sehingga ia menyuruh orang-orang lompat saja dari gedung karena gravitasi itu tidak ada karena buminya datar *contoh kasus, kan ini bahaya dan membahayakan, karena opini bodohnya itu membahayakan kemaslahatan orang selain dia dan dirinya sendiri, maka sehendaknya kita tidak membiarkan ia menyebarkan pendapatnya agar kemungkinan orang lain juga sama terhasut.
Lalu setelahnya, Papa Rau juga ada menyebutkan bahwa masalah perbedaan perspektif ini seandainya kita orang yang bijak maka kita harus menyampaikannya sesuai kadar dan kualitas setiap orangnya, untuk yang awam dan orang berilmu jelas harus kita bedakan. Bagi saya sendiri jawaban Papa Rau terhadap sanggahan saya tidak memiliki korelasi dan keterhubungan yang begitu jelas, dalam konteks apa dan bagian mana yang dapat menjawab pertanyaan saya sebelumnya? Tidak ada bukan?
Saya sendiri adalah termasuk orang yang membenarkan tentang konsep manusia itu dibagi ke dalam dua spektrum yakni orang awwam (orang kebanyakan) dan khawwash (orang khusus), sehingga penyampaian kita terhadap dua jenis manusia inipun harus dibedakan. Itu adalah sikap dari Imam Al-Ghazali dalam menyampaikan ilmunya seputar ketuhanan, tauhid dan tasawuf, saya juga kapan-kapan mungkin tertarik membahas topik ini kepada anggota JCS yang lain.
Sekian dan Terima kasih.
Referensi:
1. Misykat Al-Anwar karya Imam Al-Ghazali
2. Dawkins, Richard. (1976). 'The Selfish Gene'. Oxford. Oxford University Press.
Post a Comment